Jaja Jamaludin :
Hilangkan Penat dengan Buidaya Lele
Menjadi pembudidaya lele cara untuk bersantai tapi punya nilai produktif
Rutinitas pekerjaan sehari-hari harus diakui telah melahirkan kejenuhan bagi banyak orang. Karena itu dibutuhkan aktivitas lain yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan utama demi mengembalikan semangat kerja. Refreshing, begitulah istilahnya sekarang. Dan bagi Jaja Jamaludin yang seorang staf administrasi di sebuah yayasan pendidikan di Lebak Bulus Jakarta Selatan, budidaya lele adalah cara paling ampuh untuk mengusir penat dan jenuh pekerjaannya.
Jaja yang kelahiran Tasikmalaya Jawa Barat pada 1973, sadar betul bahwa pekerjaan ke duanya sebagai pembudidaya lele jauh berbeda dengan profesinya sehari-hari. Namun dia menganggap pekerjaan itu sebagai cara untuk bersantai/refreshing tapi punya nilai produktif. “Menjadi pembudidaya lele ini bukan karena dorongan ekonomi saja, tetapi sekaligus demi nilai-nilai psikologis yang positif,” ujarnya sambil tersenyum.
Pria yang bermukim di Ciseeng, Parung, Kabupaten Bogor ini lalu menjelaskan, yang dimaksud nilai-nilai psikologis adalah ikan, air kolam, dan alam dalam konteks pembudidaya menjadi sarana untuk refreshing. Meski sambil santai, tapi kegiatan itu tidak menutup kemungkinan menghasilkan uang melebihi pendapatan utama. “Sebab saya lihat prospek budidaya lele ke depan sangat besar,” ucap lulusan pascasarjana Universitas Indonesia ini.
Juga sebagai persiapan hari tua nanti, jika sudah pensiun ataupun pensiun dini karena sudah mengetahui teknik budidaya lele. “Saya tidak segan-segan untuk menjadikan budidaya lele sebagai aktivitas sehari-hari nantinya,” ucap lelaki yang mirip salah satu tokoh politik nasional ini dengan semangat.
Tumbuhkan Jiwa Kewirausahaan
Memang, saat ini budidaya lele merupakan mata pencaharian ke dua bagi Jaja. Tetapi justru dari profesi sampingan itulah Jaja mengaku menjadi pribadi yang mempunyai jiwa entrepreneurship (kewirausahaan) dan bersahabat dengan kemajuan teknologi. “Seperti penggunaan internet,” imbuhnya.
Bagi pembudidaya yang tidak mengenal internet, sambungnya, mereka akan mandek dan tidak berkembang bahkan menjadi korban para tengkulak. Sebab tengkulak hanya berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan yang besar tanpa memikirkan nasib para pembudidaya.
Bayangkan, kata Jaja lagi, para pembudidaya harus mendapatkan pendapatan sekitar 20 juta dengan mencurahkan pemikiran dan tenaga selama kurang lebih 2 bulan. Tetapi tengkulak, dalam 5 – 10 menit saja bisa mendapat keuntungan yang hampir sama. “Karena itu pembudidaya harus bisa mengurangi efek-efek negatif tengkulak, dengan membuat jaringan pasar sendiri. Caranya antara lain dengan melek internet,” ucap lelaki yang pernah mengajar pelajaran fisika ini.
Selengkapnya baca di Majalah TROBOS Edisi Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar